(Sumber : Merdeka)

Dialektika Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia

Riset Budaya

Tulisan berjudul “The Dialectics of Customary Law and Islamic Law: An Experience from Dou Dongo Customs of Bima, Indonesia” merupakan karya Muhammad Mutawali. Artikel ini terbit di Jurnal Ilmu Syariah “Ahkam” tahun 2021. Tujuan dari penelitian tersebut adalah mengkaji secara kritis pergeseran adat dan tradisi di Dongo, Bima sebagai proses dialektika dengan hukum Islam. Hukum adat Dongo didasarkan pada praktik tradisional dan kearifan lokal nenek moyang yang diyakini, terkait dengan nilai-nilai luhur kebenaran. Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan teknik pengambilan data melalui wawancara dan dokumentasi. Terdapat empat sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, sejarah dan hukum adat masyarakat Bima. Ketiga, teori korelasi antara hukum Islam dan hukum adat di Indonesia. Keempat, dialektika antara hukum Islam dan hukum adat Donggo di Bima.

   

Pendahuluan

  

Pada abad ke 17, tepatnya tahun 1609, Islam mulai masuk ke Bima. Islam diterima secara positif oleh masyarakat Bima yang sebelumnya percaya dan mengamalkan tradisi lama. Hal ini disebabkan masyarakat menganggap tidak ada perbedaan substansial antara hukum Islam dan hukum adat. Islam juga diterima oleh masyarakat Bima yang mempraktikkan budaya lama, meskipun beberapa di antaranya bertentangan ajaran Islam. Lambat laun, pertentangan terhadap ajaran Islam mulai terabaikan, sehingga tidak ada lagi kontradiksi antara adat setempat dan hukum Islam yang dipraktikkan dan diyakini oleh masyarakat Bima. 

  

Relasi antara hukum Islam dan hukum adat di Bima tercantum dalam pepatah lokal di Bima. Pertama, hukum dan syariat tidak dapat dipisahkan secara jiwa dan raga (hukum dan syariat adalah nawa labo sarumbu). Kedua, kehidupan dan kematian orang Bima harus taat pada syariat Islam (mori no madena dou mbojo ake kai hukum Islam edeku). Ketiga, syariah diwujudkan dalam kenyataan, sedangkan hukum mengatur dan meminin jalan (bune santika syara’ ederu na kapahuku rona kandadina rawi). 

  

Fakta di atas menunjukkan adanya korelasi positif antara hukum adat Bima dan hukum Islam. Keduanya bagaikan jiwa dan raga yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Salah satu hukum adat Bima yang masih dipraktikkan hingga saat ini dan diyakini tidak bertentangan dengan ajaran Islam adalah diarak keliling desa (baja). Hukuman ini diberlakukan bagi seseorang yang melakukan kejahatan, seperti pencuri, pezina, dan pemerkosa. 

  

Sejarah dan Hukum Adat Masyarakat Bima

  

Secara historis, orang Bima terbagi menjadi dua kelompok yakni masyarakat asli Bima dan pendatang. Salah satu suku asli Bima adalah masyarakat Donggo yang menganggap diri mereka keturunan orang Swangga. Mereka tinggal dalam kelompok kecil dan setiap kelompok dipimpin oleh Naka-Niki. Menurut sejarawan, Donggo memiliki bahasa dan adat istiadat yang berbeda dengan masyarakat Bima lainnya. mereka mengunakan bahasa Bima Donggo yang mirip dengan bahasa latin dan bahasa di Bima, Dompu dan Sanggar. Adat istiadat masyarakat Donggo di antaranya adalah Kasaro, Sapisari, Do’a Rasa, Tari Kalero dan Ritual Raju. 

  

Pada masa pra-Islam, budaya dan kondisi masyarakat suku Donggo sebagai orang gunung. Mereka tinggal sekitar 1500-2500 kaki di atas permukaan laut. Mereka membangun rumah di atas tiang-tiang dengan atap yang terbuat dari alang-alang atau bambu. Suku Donggo memuja hal-hal yang dianggap memiliki kekuatan mistik, yakni makhluk gaib bernama Henca dan roh nenek moyang mereka. Mereka tidak memiliki dewa seperti agama Hindu. Menariknya, ketika ada kerabat yang meninggal, mereka akan dikubur dalam posisi berdiri dalam lubang dengan pakaian dan aksesoris seperti cincin, gelang, kalung dan penutup kepala. Kemudian, makam akan ditutupi dengan batu pipih. 


Baca Juga : Kontradiksi Beragama dalam Multikulturalisme: Islam Tajuk Nusantara dengan Islam Arab Konservatisme

  

Pada awal abad ke 17, proses islamisasi dimulai di Bima dengan ditandai ekspedisi militer dari Makassar untuk mengalahkan pemberontak dan memilihkan Sultan Abdul Kahir sebagai putra mahkota. Era ini adalah momen yang signifikan dalam membangun politik, agama, dan sosial budaya di masyarakat. Setelah sistem kerajaan berakhir, sistem kesultanan dengan pemerintahan dan sistem budaya yang berbasis Islam pada tahun 1611. Sejak saat itu, Islam menjadi agama negara, menggantikan posisi agama asli. 

  

Islam dengan mudah diterima oleh masyarakat Bima. Artinya, budaya lama memiliki makna serupa dengan ajaran Islam, sebab tidak banyak kontradiksi di antara budaya dan tradisi lama masyarakat Bima. Ketika Islam menjadi pedoman hidup bagi orang Bima, adat istiadat yang kontradiktif lambat laun ditinggalkan. Kehadiran Islam ditunjukkan dalam pembukaan naskah hukum adat Bima. 

  

Teori Korelasi Antara Hukum Islam dan Hukum Adat di Indonesia

  

Secara historis, terdapat empat teori yang bisa dijadikan sebagai pisau analisis terkait korelasi anatara hukum Islam dan hukum adat di Indonesia. Pertama, teori reseptif yang dikemukakan Snouck Hurgronje. Teori ini menyatakan bahwa hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia bukan hukum Islam, melainkan hukum adat. Hukum Islam bukan hukum, hanya menjadi hukum bila diterima sebagai hukum adat. Alhasil, hukum adat merupakan faktor penentu baik tidaknya hukum Islam yang berlaku. 

  

Kedua, teori reception in complex yang dikemukakan oleh LWC Van Den Berg. Teori ini mengemukakan hukum agama berlaku bagi pemeluknya, hukum adat adalah hasil dari penerimaan hukum agama yang dianut oleh masyarakat. Hukum Islam berlaku bagi umat Islam, sedangkan hukum agama Hindu berlaku bagi umat Hindu. 

  

Ketiga, teori receptio exit yang dikemukakan oleh Hazairin. Teori ini berpendapat bahwa hukum adat dapat menjadi hukum yang hidup dalam masyarakat muslim. Apabila hukum adat tidak bertentangan dengan hukum Islam.

  

Keempat, teori reception a contratio yang dikemukakan Sayuti Thalib. Teori ini mengemukakan bahwa hukum adat dapat diterapkan ketika hukum Islam menerimanya. Serta, hukum Islam hanya dapat berlaku jika didasarkan pada al-Qur’an. Di Indonesia, teori ini seakan diimplementasikan dalam UUD 1945 khususnya pasal 29 dan dikeluarkannya UU No. 1 Tahun 1974 mengenai perkawinan sebagai landasannya. 

  


Baca Juga : Narasi Budaya Popular dan Wacana Aktivisme Islam

Hukum adat adalah hukum yang sudah lama dipraktikkan di Indonesia. Biasanya, hukum tertua muncul karena adat dan menjadi dasar kesepakatan dalam suatu kelompok masyarakat.  Teori yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa hukum adat didasarkan pada kearifan lokal yang menjadi bagian ‘integral’ dari hukum Islam. Hukum Islam di Indonesia berlaku untuk masalah hukum yang menyangkut umat Islam. Artinya, sistem hukum yang berlaku di Indonesia berdasarkan pada hukum adat. 

  

Dialektika Antara Hukum Islam dan Hukum Adat Donggo di Bima 

  

Masyarakat Bima dalam menyelesaikan suatu masalah menggunakan pendekatan agama dan budaya. Mereka menciptakan sekaligus memelihara harmoni dan perdamaian. Terdapat beberapa adat dan kearifan lokal yang masih dipraktikkan di Donggo. Pertama, Maja Labo Dahu atau malu dan takut. Prinsip ini memerintahkan semua orang ‘melepaskan’ diri dari status mereka dan bersumpah kepada keesaan Tuhan. Serta, mengamalkan nilai keimanan dan ketakwaan dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan segi agama, Maja Labo Dahu adalah ciri orang yang beriman dan bertakwa, sebagaimana seharusnya oleh memiliki dahu (takut), kepada Allah SWT dan Rosulnya. Ukuran dari taho (kebaikan) dan lha (kejahatan) dalam ungkapan nilai keimanan dan ketakwaan. Melalui prinsip tersebut, manusia mencoba menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. 

  

Kedua, Ngge’e Nuru atau tinggal bersama orang tua mempelai wanita. Hal ini biasanya dilakukan oleh pengantin pria yang akan bertunangan sekali mereka datang. Tujuannya untuk membuat calon pengantin pria beradaptasi dengan perilaku dan karakteristik orang tua. 

  

Ketiga, Mbolo Weki atau musyawarah. Hal ini diimplementasikan melalui beberapa konsep, seperti (1) menegakkan asas kekeluargaan dan musyawarah, (2) kerja sama yakni hasil musyawarah harus terprogram dan dilaksanakan bersama dengan seluruh anggota masyarakat, (3) segala sesuatu yang direncanakan harus dipraktikkan, (4) sesulit apa pun tugasnya, harus diselesaikan dengan sabar, tekun dan tanggung jawab, (5) semua hasil pembangunan dicapai melalui perjuangan seluruh rakyat dan dinikmati dengan adil. 

  

Keempat, baja atau keliling kampung yakni hukum adat yang masih dipraktikkan sampai saat ini sebagai hukum bagi pezina, pencuri dan perampok. Selama arakan, para pelaku harus mengungkapkan penyesalan. Selain itu, mereka tetap harus membayar denda sesuai dengan keputusan dewan adat. 

  

Kelima, teka ra ne’e atau kontribusi. Biasanya, dilaksanakan ketika mengalami ritual siklus hidup, misalnya perayaan pernikahan, haji, panen dan kelulusan sekolah. Mereka akan memberikan sumbangan dalam bentuk uang maupun sembako.

  

Keenam, ritual raju yakni pembasmian hama. Ritual ini dilakukan setiap tahun sebelum waktu menanam. Ada tiga jenis ritual raju, (1) raju na’e dilakukan selama tujuh hari, (2) raju to’i dilaksanakan selama lima hari, (3) raju to’i poda dilaksanakan selama tiga hari. 

  

Kesimpulan

  

Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa, jika ditinjau dari sejarah, proses dialektika antara hukum adat dan hukum Islam telah terjadi sejak abad 17 yang ditandai dengan pergeseran sistem kerajaan ke dalam kesultanan. Kedua hukum tersebut mempengaruhi hampir seluruh kehidupan masyarakat Bima. Penerimaannya dibuktikan dengan sebagian besar hukum adat yang sesuai dengan hukum Islam hingga saat ini, seperti hukuman baja, ritual mbolo weki, maja labo dahu dan raju. Alasan mengapa Islam menjadi agama yang diterima karena kesamaan substansial dengan kebiasaan mereka. Dialektika ini yang membuat masyarakat Donggo mengamalkan hukum adat bersama dengan hukum Islam. Islam telah menjadi agama masyarakat Bima dan pedoman hukum, karena masih memegang teguh hukum adatnya.