(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Identitas Wanita di Era Digital Islam

Riset Budaya

Tulisan berjudul “Women’s Identity in the Digital Islam Age: Social Media, New Religious Authority, and Gender Bias” merupakan karya Ahmad Muttaqin. Artikel ini terbit di Qudus International Journal of Islamic Studies “QIJIS” tahun 2020. Secara garis besar, tulisan Muttaqin membahas ceramah agama oleh beberapa tokoh terkenal di media sosial yang dianggap bias gender. Hal ini menyebabkan pelanggengan diskriminasi di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, ceramah semacam itu tidak lepas dari peran akun promosi. Selain itu, banyak video “propaganda” dengan tema gender yang secara masif tersebar, sekaligus menarik banyak followers. Ceramah agama yang condong bias gender di media sosial tidak hanya berkaitan dengan pemahaman agama secara tekstual, namun juga komodifikasi agama. Sebab, wacana agama di media sosial dapat ditentukan dan dijadikan sebagai “lahan bisnis”. Terdapat empat sub bab yang akan dibahas dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, media sosial dan pendakwah populer. Ketiga, bentuk bias gender dalam ceramah agama. Keempat, bias gender dan komodifikasi keagamaan. 

  

Pendahuluan

  

Era digital telah mempengaruhi sosial, politik, dan kehidupan religus. Menurut Mandaville, pergeseran aktivitas agama ke dalam ruang digital memunculkan istilah “Islam digital”. Artinya, pertemyan antara Islam dan teknologi informasi dan komunikasi. Islam digital telah menjadi “wahana” kebangkitan ekspresi perempuan di Arab, namun berbeda di tempat lain. Misalnya, di Amerika Serikat, penelitian menunjukkan bahwa pada kasus Islamophobia melalui media sosial lebih banyak merugikan kaum wanita. Di Indonesia, hal semacam ini menjadi sesuatu yang baru. Pesan religius yang disampaikan melalui platform media sosial mengakibatkan dinamika baru dalam masyarakat. Setiap orang dari berbagai latar belakang dapat mengakses ceramah agama dengan mudah, sehingga masyarakat bisa menikmati ceramah agama dimanapun dan kapanpun. Sayangnya, ceramah agama terkadang disampaikan oleh mereka yang tidak memiliki “kecukupan” dalam menyampaikan pesan agama. 

  

Media sosial dan Pendakwah Populer

  

Beberapa pendakwah menjadi cepat populer di media sosial. Mereka memiliki akun resmi yang mengunggah ceramah agama baik secara individu maupun pengelolaan secara professional. Misalnya, Abdul Somad, Khalid Basalamah, Adi Hayat, Subhan Bawazier, Syafiq Reza Basalamah, Hanan Attaki, dan Felix Siauw. Para pendakwah tersebut memiliki popularitas tinggi bukan karena sering memberikan ceramah, melainkan peran media sosial seperti Youtube dan Facebook. 

  

Pendakwah populer memiliki akun yang dikelola secara professional. Artinya, selain akun resmi, masih banyak akun lain atau saluran media sosial yang menyebarkan video ceramah mereka. Sehingga, popularitas para pendakwah semakin meningkat. Akun-akun tersebut bersaing untuk mengumpulkan followers. Pada saat yang sama, akun yang juga menyebarkan ceramah para pendakwah juga menjual beberapa produk(endorsement). Hal tersebut menunjukkan adanya motif ekonomi dibaliknya. 

  

Bentuk Bias Gender dalam Ceramah Agama

  

Di dalam analisis konten bias gender dapat dibedakan dalam lima kategori. Pertama, marginalisasi yang ditunjukkan pada laman Youtube Khalid Basalamah dengan judul “Tugas Utama Seorang Istri”. Khalid menyatakan bahwa bagi wanita, bekerja di luar diperbolehkan asal dengan kondisi tertentu. Hal ini memberikan Batasan bagi wanita, sebab bekerja di luar masih bersyarat. Selain itu, disebabkan asumsi bahwa tugas utama perempuan berada pada wilayah domestik. 


Baca Juga : Kristen Muhammadiyah di Media Sosial

  

Kedua, stereotip. Pada ceramah Abdul Somad, ia mengutip Q.S 2:187 yang berbunyi “Hunna Libasun Lakum”. Artinya, wanita adalah kain yang menutup aib pria. Selain itu, ia juga mengutip hadits bahwa wanita “diciptakan dari” tulang rusuk yang berkok. Sebab tulang rusuk melindungi jantung, maka tugas wanita adalah melindungi pria. Hal ini menunjukkan bahwa wanita distereotipkan sebagai kain pelindung dan tulang rusuk yang bengkok. 

  

Ketiga, subordinasi. Pada ceramah Abdul Somad, meski mengungkapkan analisis tekstual dan menggunakan usul fikih, namun tetap tidak lepas dari bias gender. Misalnya, salah satu ceramahnya yang menyinggung perihal poligami. Poligami dianggap sebagai keadaan darurat “pintu” untuk mencegah zina bagi pria. Begitu pula Khalid Basalamah yang menegaskan bahwa hukum pertama poligami adalah “keharusan” ilahi yang tidak bisa diperdebatkan. Poligami tidak ditentutakan oleh izin istri, sebab perintah poligami adalah hukum Tuhan. 

  

Keempat, kekerasan. Selain kekerasan secara fisik, kekerasan juga bisa terjadi secara psikologis. Salah satu video Felix yang diunggah dalam media pribadinya degan tema “Minta Poligami”. Video tersebut menunjukkan dialog antara Felix dan istrinya perihal poligami yang awalnya tidak setuju dengan poligami, kemudian dijelaskan bahwa poligami adalah bagian dari “yurisprudensi” Islam. Jadi, menolak poligami sama halnya degan menolak hukum Islam dan hukum Tuhan. Video penyampaian pesan agama tersebut dianggap sebagai bentuk kekerasan psikis, sebab secara sadar menolak praktik poligami, namun harus diyakinkan dengan alasan agama dan interpretasi yang kaku guna kepentingan pria. 

  

Kelima, beban ganda. Salah satu ceramah Syafiq dengan judul “4 Sifat Istri yang Harus Dipahami Suami”. Ia menyatakan bahwa wanita adalah pekerja rumah tangga yang tidak bisa digantikan oleh pria. Artinya, istri sering mengalami beban ganda sekaligus peran ganda hanya dimainkan wanita. 

  

Bias Gender dan Komodifikasi Keagamaan

  

Globalisasi telah mendukung munculnya otoritas “agama baru” yang pengetahuan agamanya diperoleh melalui pembelajaran mandiri dengan media teknologi. Isi ceramah agama menjadi lebih banyak tersebar luas dan dapat diakses oleh banyak orang. Pergaulan yang masif juga menimbulkan kepercayaan terhadap pendakwah yang kemudian dianggap “pantas” untuk diikuti. Para pendakwah kemudian memiliki “otoritas” agama dan pesan agama yang disampaikan dapat diterima masyarakat dengan mudah. 

  

Perihal komoditas, Lukens-Bull menyatakan bahwa kapitalisme tidak hanya bisa menjadi ideologisasi komoditas namun juga komodifikasi ideologi. Artinya, fenomena ceramah di media sosial menjadi bagian dari komodifikasi ideologi atau agama. Perpaduan antara agama dan ruang teknologi menjadikan agama tidak hanya sebagai sistem keyakinan. Agama kemudian “tampil” secara visual dan diperlakukan sebagai barang ekonomi seperti barang komoditas lain yang membawa manfaat. 

  

Kesimpulan

  

Penelitian Ahmad Muttaqin menunjukkan tingginya intensistas ketidakadilan gender dalam ceramah agama di media sosial. Ceramah yang berisi bias gender, biasanya disampaikan dengan tema keterkaitan antara suami dan istri. Akses mudah pada ceramah agama di media sosial memiliki pengaruh yang signifikan berdampak dalam membangun bias gender dalam pandangan publik dan melestarikan bentuk marginalisasi, stereotip, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda terhadap wanita.