Komunikasi Antar Budaya dan Agama: Fandom K-Pop di Indonesia
Riset SosialTulisan berjudul “K-Pop Fandom in Veil: Religious Reception and Adaptation to Popular Culture” merupakan karya Sunny Yoon, yang berasal dari Universitas Hanyang di Repulik Korea. Artikel ini terbit di Journal of Indonesian Islam tahun 2019. Yoon mengulas perihal fandom K-Pop di Indonesia yang fokus terhadap komunikasi antar budaya dan agama yang berbeda antar dua negara. Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi dengan wawancara mendalam sekaligus observasi untuk memperoleh data. Indonesia adalah negara dengan populasi pemuda musim yang banyak dan dianggap menjadi “hamba taat”, sekaligus menyukai popularitas musik Korea. Hal ini nampak kontradiktif, sebab dalam konteks sejarah dan sosial, masyarakat menunjukkan bagaimana seharusnya menerima keragaman budaya. Selera kultur kaum muda muslim menyiratkan kesadaran dan visi sosial identitas budaya baru yang secara tidak sadar ingin dipromosikan. Di dalam review ini, akan menjelaskan tulisan Yoon dalam empat sub bab. Pertama, konteks Islam Indonesia. Kedua, ketaatan beragama dan penerimaan K-Pop. Ketiga, makna budaya bukan agama. Keempat, perdebatan komunikasi agama.
Konteks Islam Indonesia
Indonesia menjadi negara yang sangat menarik dalam deskripsi yang dituliskan oleh Yoon. Ia mengaitkan bagaimana Pancasila telah menjadi kunci toleransi di Indonesia. Terutama, ketika dikaitkan dengan bagaimana masyarakatnya beragama. Indonesia adalah negara muslim terbesar di dunia dengan sistem agama yang “unik” karena berbeda dengan negara-negara di Timur Tengah. Indonesia bukan negara Isam, namun memperbolehkan kebebasan beragama. Hal ini dikarenakan Pancasila yang digunakan sebagai dasar negara yang mendukung keberagaman dan kebebasan memilih agama, namun tidak ada ruang bagi ateisme. Indonesia merupakan negara yang menarik perhatian banyak “etnografer” untuk meneliti bagaimana keunikan masyarakatnya dalam berbagai bidang. Misalnya, popularitas idola yang baru dan menjadi tren di Indonesia.
Bagi Yoon, banyak negara Islam yang melarang penyanyi maupun bintang untuk diidolakan, sebab dianggap sebagai “berhala”. Ia mengambil contoh bagaimana perintah jihad dalam Islam yang dikaitkan dengan perang untuk menghancurkan “berhala” berupa warisan dunia, seperti apa yang dilakukan oleh ISIS. Sehingga, Yoon menemukan hal yang menarik di Indonesia ketika ia melihat justru Indonesia membuat program untuk menyebarkan popularitas seperti AFI dan KDI. Selain itu, penerimaan budaya K-Pop di Indonesia oleh para pemuda meskipun berbeda budaya dan agama. Hal ini dianggap sebagai “masalah baru” sebab, bukan hanya perihal kesuksesan industri musik, melainkan aspirasi untuk perubahan sosial. Layaknya jilbab yang terkadang dimaknai sebagai “radikalisasi” Islam sekaligus perlawanan terhadap westernisasi dan globalisasi, begitu pula dengan budaya baru pemuda muslim Indonesia yang dipengaruhi oleh K-Pop dan media Korea.
Ketaatan Beragama dan Penerimaan K-POP
Yoon sering kali mengungkapkan berbagai penemuan yang membuatnya “takjub” akan masyarakat Indonesia, salah satunya adalah ketaatan beragama pemuda di Indonesia. Sebab, ia membandingkan Indonesia dengan negara lainnya. Ia berpendapat bahwa hampir di seluruh negara, pemuda akan cenderung meninggalkan institusi agama sebagai “simbol” budaya tandingan. Misalnya, di Eropa dan Amerika, para pemuda yang berkumpul di gereja menurun sangat drastis. Hal tersebut terjadi dari tahun ke tahun.
Fakta menarik yang di temukan Yoon adalah jika banyak orang “melihat” bahwa mengapa budaya K-Pop itu populer di Indonesia sebab pemudanya yang tidak terlalu religius, kemudian berafiliasi dengan tekanan keluarga dan teman, merupakan sebuah kesalahan. Yoon justru menemukan bahwa pemuda di Indonesia memiliki ketaatan dan serius dengan segala kegiatan keagamaan yang dilakukan. Ia menemukan bahwa pemuda yang dijadikan sebagai subjek melakukan salat lima waktu, melakukan puasa setiap bulan Ramadhan, bahkan puasa setiap minggu. Selain itu, banyak dari mereka yang menggunakan waktu “ekstra” untuk berdoa dan membaca Al-Qur’an.
Makna Budaya bukan Agama
Alasan utama mengapa pemuda menyukai K-Pop adalah sebab penampilan idola mereka yang cantik maupun tampan. Kebanyakan remaja wanita menyukai boy band karena tampan dengan hidung mancung, kulit pucat dan bibir merah. Hal ini lumrah terjadi, ketika dibandingkan dengan pria khas Indonesia dengan hidung bulat, kulit gelap dan bibir merah tua. Kedua, pemuda di Indonesia tidak “distereotipkan” oleh rasisme. Mereka menyukai idola yang tampan dengan kepribadian yang menarik di depan TV. Yoon mengaitkan dua fakta yang ia temukan dengan pendapat Hermes yang menyatakan bahwa, pembentukan identitas dikonsumsi khalayak lebih bersifat sosiologis ketimbang psikologis. Pesona K-Pop di Indonesia mewakili kesadaran sosial fandom. Mereka “menggambarkan” pesona tersebut dengan cita-cita sekaligus aspirasi. Hal lain yang menarik bagi Yoon adalah penampilan orang Korea tidak standar Islam. Namun, para pemuda mengubahnya dengan memakai jilbab dan sebagainya. Artinya, mereka memiliki cara sendiri untuk meniru budaya Korea. Hal ini menunjukkan “peniruan” budaya Korea sebagai gambaran aspirasi dan sosial motivasi remaja Indonesia.
Perdebatan Komunikasi Agama
Salah satu perdebatan panas dalam komunikasi agama terjadi dari dua pandangan “bersaing”, yakni penekanan agama sebagai doktrin atau praktik. Namun, Yoon menemukan bahwa “kekuatan” agama pada abad ke 21 telah menurun, jika terlihat dari jumlah orang-orang yang beribadah di tempat ibadah, baik gereja maupun masjid. Namun jika salah mempertimbangkan agama sebagai praktik, maka tidak jelas pengaruh agama yang telah melemah di dunia kontemporer. Di dunia Islam, agama selalu menyertai praktik, tidak seperti masyarakat barat yang terpisah. Islam tidak pernah lepas dari doktrin agama dan praktik keagamaan.
Jika ditinjau lebih dalam, agama sebagai praktik mungkin memberikan ruang bagi toleransi dan kerja sama dengan mengizinkan cara “intrinsik” dari iman individu dan mempraktikkan agama. Banyak anak muda yang beragama Islam dan menggemari K-Pop. Jika ditinjau dari sudut pandang nilai-nilai Islam, K-Pop bisa dilihat sebagai penyebar imperialisme dan kapitalisme barat. Namun, di Indonesia, justru dalam praktiknya pemuda di Indonesia menggunakan K-Pop sebagai strategi untuk “merangsang” visi baru di masa depan. Hal yang lebih penting adalah mereka mengooptasi Islam dan K pop bersama-sama untuk mencoba membebaskan mereka dan menuju kehidupan yang lebih baik. Agama bukanlah penghalang untuk jalan ini bagi mereka.
Kesimpulan
Penelitian yang dihasilkan oleh Yoon sangat menemukan banyak fakta yang menarik. Bahkan, sebagai seseorang berkebangsaan Korea, ia takjub dengan apa yang ia temukan di Indonesia. Ia telah mematahkan pandangan bahwa pemuda yang mengidolakan K-Pop adalah mereka dengan ketaatan agama yang kurang. Justru, budaya baru yang mereka kagumi ternyata menjadi semangat baru bagi mereka, salah satunya untuk mewujudkan cita-cita. Tulisan Yoon telah tertulis cukup jelas dengan deskripsi metodologi yang juga ia tuliskan. Namun, ia tidak memaparkan mengenai Fandom K-Pop di Indonesia secara gamblang dan rinci. Sehingga, terkesan terlalu umum. Ia juga sudah tepat dengan melakukan wawancara sekaligus observasi dalam penelitiannya, jika ia hanya melakukan wawancara tanpa observasi perihal ketaatan para pemuda, maka ia bisa saja mendapatkan keterangan yang berbeda dengan apa yang “biasanya” dilakukan oleh subjek. Ketaatan memang seharusnya ditinjau dengan observasi dengan mengikuti kegiatan subjek untuk memastikan ritual keagamaan yang dilakukan.