Bukti Keniscayaan Ilmu Tafsir
Daras TafsirDengan mengharap rida Allah SWT dan ilmu yang bermanfaat dan berkah, mari sejenak membaca surah al-Fatihah untuk penulis kitab Zubdah al-Itqan yang sedang kita kaji bersama. Untuk al-Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki, al-Fatihah.
Abuya menjelaskan, yang kurang lebih artinya sebagai berikut:
Adapun penjelasan akan kebutuhan (seseorang) pada Ilmu Tafsir, maka karena pemahaman tentang al-Qur’an yang mencakup hukum-hukum syariat yang notabene merupakan wilayah kebahagiaan abadi dan tali yang sangat kuat (al-‘Urwah al-Wutsqa) tidak bisa diperoleh kecuali berkat taufik dari Yang Maha Lembut lagi Maha Teliti. Sampai-sampai para sahabat radhiyallahu ‘anhum padahal kefasihan mereka begitu tinggi dan sisi batin mereka begitu bersinar disebabkan oleh pancaran “lubang kenabian” (misykat al-nubuwwah) yang menyinari mereka— sering kali mengajukan pertanyaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang beberapa hal yang tidak bisa mereka pahami, seperti yang terjadi pada ‘Addiy bin Hatim, perihal benang putih dan hitam. Dan tidak diragukan lagi bahwa kita membutuhkan apa yang mereka butuhkan, bahkan lebih.
Sederhananya, lha wong selevel para sahabat saja, sering kali “gagal” memahami beberapa ayat yang difirmankan Allah SWT di dalam al-Qur’an. Apalagi kita, yang kefasihan bahasa arabnya tidak seperti mereka. Lebih-lebih batin kita tidak mendapat pancaran miyskat al-nubuwwah secara langsung sebagaimana yang mereka peroleh. Tentu akan lebih banyak pertanyaan yang muncul di benak kita dibandingkan mereka. Untuk itu, pada kesempatan kali ini, mari menguak lebih dalam terkait kemusykilan yang dialami oleh sahabat ‘Addiy radhiyallahu ‘anhu yang disinggung oleh Abuya di atas. Di samping itu, juga beberapa bukti lain yang menunjukkan keniscayaan mempelajari Ilmu Tafsir bagi siapa pun yang hendak memahami lebih-lebih memformulasikan hukum dari ayat-ayat al-Qur’an.
Kemusykilan yang dialami Shahabat ‘Addiy bin Hatim
Di atas, Abuya menyinggung kemusykilan yang dialami oleh shahabat ‘Addiy bin Hatim, sebagai contoh seringnya para sahabat mengajukan beberapa pertanyaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nah pertanyaannya, sebenarnya bagaimana kemusykilan yang beliau alami itu? Tentu, sebelum menjawab pertanyaan ini, kita perlu mengenal biografi beliau, meski hanya sepintas.
Nama lengkap beliau adalah ‘Addiy bin Hatim bin ‘Abdillah bin Sa‘d bin al-Hasyraj bin Imri’ bin al-Qays bin ‘Addiy. Sedangkan kunyah beliau, Abu Wahab dan Abu Tharif. Mengenai tahun kelahirannya, para sejarawan tidak menemukan keterangan yang konkret. Yang jelas, ketika beliau meninggal pada tahun 66, 67, atau 68 H/687 M, umur beliau mencapai 180 tahun, menurut penuturan Abu Hatim al-Sijistani. Atau 120 tahun, menurt Ibnu al-Kalbi.
Beliau merupakan kepala suku Thayy, baik di masa Jahiliyyah maupun Islam. Tidak seperi sahabat ‘Umar bin al-Khaththab yang telah masuk islam sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, beliau termasuk sahabat yang baru masuk Islam setelah hijrah tersebut. Karena, sebagaimana dijelaskan oleh al-Zirikli, beliau baru masuk Islam pada tahun 9 H. Tetapi, meskipun demikian, jasa beliau bagi keberlangsungan dakwah Islam amat besar. Beliau lah yang sangat berjasa dalam peperangan melawan kaum murtad, di masa kekhalifahan Abu Bakar al-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Sampai-sampai, Ibnu al-Atsir, seorang ulama sejarawan yang masyhur, memuji beliau dengan ungkapan, “(Ia adalah) sebaik-baik orang yang dilahirkan di tanah Thayy dan keberkahan yang paling agung bagi penduduknya.”
Baca Juga : Kiai Haji Mas Ahmad Muhajir: Ulama Pejuang
Sekarang, mari kembali ke persoalan semula. Jadi, “kemusykilan” bermula ketika surah al-Baqarah [2]: 187 turun. Khususnya, pertengahan ayat tersebut, yang artinya kurang lebih sebagai berikut:
Dan makan minumlah hingga jelas benar bagi kamu benang putih dari benang hitam, (yaitu) fajar.
Setelah mendengar ayat di atas, sahabat ‘Addiy radhiyallahu ‘anhu lantas membawa dua benang, masing-masing berwarna putih dan hitam. Ketika hendak tidur, beliau meletakkannya di bawah bantal. Di malam harinya, beliau terbangun, lalu melihat kedua benang tersebut. Beliau mengamati baik-baik kedua benang itu. Ternyata, tidak menjadi jelas bagi beliau, “Mana yang putih, dan mana yang hitam?” (Perlu dipahami, bahwa pada saat itu, belum ada lampu penerang!)
Keesokannya, sahabat ‘Addiy radhiyallahu ‘anhu menceritakan semuanya kepada Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, beliau pun tertawa, kemudian berkata yang kurang lebih artinya, “Sungguh engkau tidak begitu bisa memahami maksud ayat itu. Sebenarnya yang dimaksud adalah putihnya siang dan gelapnya malam.” Yakni, putihnya cahaya fajar.
Oleh karena itu, beberapa ulama menjelaskan bahwa pada mulanya, dalam ayat di atas, tidak terdapat kalimat “min al-fajr”. Itulah mengapa beberapa sahabat radhiyallahu ‘anhum seperti ‘Addiy bin Hatim radhiyallahu ‘anhu salah dalam memahami ayat tersebut. Kemudian, diturunkanlah kalimat “min al-fajr” yang menjadi penjelas dari kalimat “al-khaith al-abyadh min al-khaith al-aswad”.
Namun, walau bagaimanapun, pada intinya, peristiwa itu menunjukkan bahwa para sahabat seringkali tidak mampu memahami maksud dari ayat-ayat al-Qur’an, sebagaimana disinggung oleh Abuya. Padahal, tingkat kefasihan mereka begitu tinggi dan batin mereka begitu terang karena mendapat pancaran langsung dari Kanjeng Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mengapa Penting Mempelajari Ilmu Tafsir?
Baca Juga : KH. Abdul Wahid: Sosok Pembaharuan Pendidikan Islam di Pesantren (Bagian 1)
Selain apa yang telah dijelaskan oleh Abuya, ada beberapa poin penting yang menunjukkan keniscayaan Ilmu Tafsir sebagai perangkat untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an. Atau dengan kata lain, keterbutuhan al-Qur’an kepada penafsiran agar bisa dipahami dengan baik dan benar. Beberapa poin itu, dijelaskan oleh Dr. M. ‘Afifuddin Dimyathi, Lc., M.A, dalam kitabnya yang berjudul ‘Ilm al-Tafsir. Intisarinya, kurang lebih sebagai berikut:
Pertama, tak dapat dipungkiri, bahwa sebagian al-Qur’an turun dalam konteks pertanyaan atau peristiwa tertentu, yang kemudian kita kenal sebagai asbab al-nuzul. Nah, pada titik tertentu, bila asbab al-nuzul ini tidak dipahami dengan baik, maka makna utuh dari suatu ayat sangat sulit untuk dipahami. Ambil contoh surah al-Taubah [9]: 118 berikut ini:
Dan terhadap 3 orang yang ditinggalkan (ditangguhkan penerimaan taubat mereka) hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka padahal (bumi itu) lapang, dan jiwa mereka (pun) telah sempit atas diri mereka sendiri (akibat penyesalan dan kegelisahan yang memenuhi jiwa mereka), serta mereka telah menduga bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, kecuali kepada-Nya. kemudian, Dia menerima taubat mereka supaya mereka (terus-menerus) bertaubat. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat, lagi Maha Pengasih.
Siapakah 3 orang yang dimaksud oleh ayat di atas? Mengapa mereka ditinggalkan? Mengapa mereka merasa bumi telah menjadi sempit? Tentu, pertanyaan-pertanyaan semacam ini, akan bisa terjawab bila memahami sabab al-nuzul ayat tersebut.
Kedua, bahwa banyak sekali perintah-perintah yang hanya dijelaskan secara global di dalam al-Qur’an, seperti salat, zakat, puasa, dan haji. Tentu, jalan satu-satunya untuk memahami dengan baik perintah-perintah itu adalah dengan memahami hadis-hadis Kanjeng Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh para ulama.
Ketiga, bahwa di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat mutasyabihat yang maknanya sepintas lalu tidak bisa dipahami. Bahkan boleh jadi makna pertama kali yang terlintas di benak seseorang ketika membacanya, tidak sesuai dengan yang dikehendaki Allah SWT. Karena makna ayat-ayat seperti itu bisa menjadi jelas, hanya bila dikembalikan pada ayat-ayat muhkamat. Terkait hal ini, Allah SWT berfirman:
Di antara ayat-ayat-(nya) ada yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi al-Qur’an, dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya ada kecenderungan kepada kesesatan, maka mereka mengikuti dengan sungguh-sungguh apa (ayat-ayat) yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah (kekacauan dan kerancuan berpikir serta keraguan di kalangan orang-orang beriman) dan untuk mencari-cari takwilnya (yang sesuai dengan kesesatan mereka). (surah Ali ‘Imran [3]: 7)
Tentu untuk mengetahui ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat itu dengan baik dan benar, diperlukan penjelasan lebih lanjut dari para ulama.
Baca Juga : Menguji Kearifan Pak Jokowi
Keempat, bahwa al-Qur’an turun kepada Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam secara berangsur-angsur, dalam kurun waktu puluhan tahun. Konsekuensinya adalah, pemisahan atau penyebaran ayat-ayat yang membahas tema yang sama ke dalam surah-surah yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dibutuhkan usaha yang maksimal dalam mengumpulkan ayat-ayat terkait satu tema tersebut agar menghasilkan penjelasan yang sempurna. Bahwa ayat-ayat al-Qur’an, saling menjelaskan antara satu dengan yang lain.
Demikian kurang lebih, beberapa poin yang menjadi bukti keniscayaan Ilmu Tafsir.
Referensi:
al-Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki al-Hasani, Zubdah al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (Jeddah: Dar al-Syuruq, 1986), 10.
M. Quraish Shihab, al-Qur’an dan Maknanya (Tangerang: Lentera Hati, 2013), 29, 50, 206.
Abi ‘Abdillah Syamsuddin Muhammad bin Ahmad ‘Utsman bin Qaymaz al-Dzahabi, Siyar A‘lam al-Nubala’ (Lebanon: Bait al-Afkar al-Dawliyyah, 2004), 2672-2673.
Khairuddin al-Zirikli, al-A‘lam: Qamus Tarajum li Asyhur al-Rijal wa al-Nisa’ min al-‘Arab wa al-Musta‘ribin wa al-Mustaghribin (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 2002), vol. 2, 220.
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari‘ah wa al-Manhaj (Damaskus: Dar al-Fikr, 2009), vol. 1, 515-516.
M. ‘Afifuddin Dimyathi, ‘Ilm al-Tafsir: Ushuluhu wa Manahijuhu (Sidoarjo: Lisan ‘Arabi, 2016), 4-5.