(Sumber : Nur Syam Centre)

Politik Kleptomania

Opini

Saya teringat Winona Ryder, salah seorang aktris dan produser film, menjadi aktris utama dan menjadi nominator aktris terbaik (2010) dalam When Love is not enough: The Lois Wilson Story,  yang kaya raya dan cantik ternyata mengidap satu masalah kejiwaan, yaitu kecenderungannya untuk “ngutil” (2001) atau mengambil barang-barang yang bukan miliknya. Barang yang diambil bukanlah barang berharga atau bernilai jual yang tinggi, tetapi barang-barang yang remeh temeh, misalnya bros, penjepit rambut, atau gelang mainan, yang tidak seberapa harganya. Tetapi inilah kenyataan, bahwa “penyakit” ngutil itu bisa saja menerpa orang terkenal, orang kebanyakan, pejabat dan bahkan aktris ternama. 

  

Saya tentu tidak akan membahas tentang perilaku atau tindakan kleptomania yang seperti ini, tetapi akan membahas tindakan politik kleptomania yang sekarang cenderung meningkat, dengan indikator semakin banyak figur publik atau pejabat publik yang kemudian terendus melakukan tindakan tidak terpuji, yaitu melakukan pencurian uang rakyat, anggaran pembangunan, penggelembungan nilai proyek, atau yang sering dikonsepsikan sebagai korupsi. 

  

Tindakan politik kleptomania tentu bukanlah pembawaan saja. Jadi bukan sepenuhnya ditentukan oleh faktor internal, akan tetapi yang lebih dominan adalah faktor eksternal. Seperti Winona Ryder, bisa jadi itu merupakan faktor internal, atau rasa tertarik dengan benda-benda yang bukan miliknya, akan tetapi dalam dunia politik yang lebih dominan rasanya adalah faktor eksternal. Terutama adalah faktor lingkungan. Ketika seseorang berada di dalam satu lingkungan yang memberikan peluang untuk melakukan tindakan menyimpang, maka akan bisa memengaruhi terhadap perilaku seseorang untuk melakukan penyimpangan.

  

Secara sosiologis, misalnya sosiologi behavioral menyatakan bahwa faktor lingkungan memiliki pengaruh yang kuat terhadap perilaku masyarakat. Teori social exchange, misalnya memberikan gambaran bahwa faktor pertukaran di dalam suatu masyarakat akan memengaruhi perilaku seseorang. Di dalam konteks politik, maka pemberian yang pernah dilakukan oleh seseorang tentu akan dibalas sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya. Pemberian seorang bawahan kepada atasannya, bisa dimaknai sebagai permohonan perlindungan atau pemberian jaminan akan posisi sosial atau jabatan yang sedang dipegangnya. Jadi, setiap pemberian tidak ada yang gratis, akan tetapi selalu memiliki makna yang lebih luas.

   

Politik uang merupakan pintu yang paling lebar untuk merasuknya politik kleptomania. Sudah jamak dipahami bahwa setiap perhelatan politik akan memunculkan bandar-bandar politik yang tugasnya adalah memberi dukungan kepada calon yang paling akseptabel, sehingga mereka akan berani untuk mengeluarkan banyak dana untuk kepentingan politik. Jadi ada banyak pilkada atau lainnya yang meniscayakan masuknya para pemodal untuk pembiayaan politik, dan jika calonnya memenangkan pertarungan politik, maka sebagai gantinya pejabat publik dimaksud akan mengembalikannya dalam bentuk proyek-proyek yang bisa dimenangkannya.

  

Politik kleptomania adalah tindakan politik yang dilakukan seseorang untuk mengambil sesuatu yang bukan miliknya dan terkadang tidak digunakan untuk dirinya sendiri. Di dalam konteks ini, maka jika yang diambil adalah uang proyek, maka uang tersebut tidak digunakan untuk memenuhi kebutuhannya, akan tetapi untuk orang lain yang dianggap berjasa kepadanya. Politik kleptomania adalah politik balas jasa yang berbasis pada pemberian uang atau barang yang diberikan  kepada orang lain yang pernah berjasa kepadanya.

  

Di dalam kajian Marcel Mauss tentang “Pemberian” atau “Gift”  bahwa exchange memiliki usia setua usia manusia. Bahkan di masa Nabi Adam Alaihis Salam, juga sudah dikenal konsep pemberian ini. Andaikan pemberian itu diperluas maknanya, maka upaya Qabil dan Habil pada waktu itu sudah bisa dianggap sebagai pemberian. Hanya saja pemberian itu bukan untuk sesama manusia akan tetapi untuk Tuhan. Agama-agama Semitis memiliki cerita seperti ini. Lalu pada tahap berikutnya pemberian itu tidak hanya bernuansa ketuhanan tetapi juga kemanusiaan. Semua agama mengajarkan tentang dimensi pemberian ini terhadap manusia lainnya. Konsep zakat, infaq dan shadaqah di dalam Islam adalah contoh pola pemberian yang berbasis ajaran agama untuk manusia lainnya.

  

Hanya saja di era modern, pemberian itu memiliki konotasi yang sangat luas. Tidak hanya yang positif tetapi juga yang negatif. Misalnya pemberian uang sogok untuk jabatan, pembelian suara di dalam pilkada, bahkan pilkades, dan sebagainya telah mengindikasikan bagaimana konsep “pemberian” memiliki makna yang yang sangat luas tergantung pada dimensi apa pemberian tersebut dilakukan.

  

Tindakan politik untuk menyuap para pemilih di dalam pilkada, merupakan pengertian luas dari “pemberian” yang memiliki sejarah panjang di dalam kehidupan manusia. Politik kleptomania dewasa ini semarak dilakukan di dalam pilkada, dan mengakibatkan terjadinya tindakan politik permisif. Misalnya menghalalkan cara-cara untuk mengembalikan mahar politik yang telah dikeluarkan, baik untuk kendaran politik maupun untuk biaya politik elektabilitas. 

  

Di tengah nuansa seperti ini, maka sebenarnya yang harus menjadi penyangga pilkada yang fair play adalah kaum cendekiawan dan kelas menengah yang well educated. Mereka merupakan kelompok yang paling sadar tentang pilihan politik yang berbasis pada moralitas politik. Dan saya kira tidak cukup hanya dengan berpangku tangan, tetapi harus melakukan tindakan yang terlibat,  baik dalam sosialisasi pilkada jurdil atau menjadi relawan pilkada berbasis fair play. Tetapi mungkinkah itu?

  

Wallahu a’lam bi al shawab.