(Sumber : Republika.co.id)

Islam Indonesia: Substantif vs Formalistik (4)

Kelas Metode Penelitian

Oleh: Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

  

Di Indonesia itu Islam warna-warni. Tidak sebagaimana di Timur Tengah, khususnya Arab Saudi, yang di sana hanya ada satu warna Islam, yaitu Islam dalam tafsiran Muhammad Ibn Abdul Wahab, atau sering disebut sebagai Wahabiyah. Di  Indonesia itu Islamnya berwarna-warni, yang disebabkan oleh banyaknya penafsiran atas ajaran Islam, baik teks suci Alqur’an maupun Alhadits. Sekali lagi penafsiran bukan ajaran yang tercantum di dalam teks suci tersebut.

  

Islam di Indonesia memang sungguh menarik, bukan dari penafsiran agamanya saja tetapi juga ekspressi keagamaannya. Coba jika diperhatikan dalam ekspresi keagamaan, maka bisa dilihat betapa banyak varian cara untuk menutup aurat bagi lelaki dan performance luarnya atau outward looking. Ada yang memakai kopyah hitam atau putih, ada yang memakai blangkon ala Solo atau Yogyakarta, ada yang menggunakan adat dan pakaian local, ada yang memakai sarung, celana, ada yang sarung dipadukan dengan celana dan sebagainya. Bandingkan dengan tradisi di Arab, maka sungguh ada warna keislaman yang luar biasa di Indonesia tersebut. Sedangkan bagi perempuan, di masa lalu menutup aurat kepala dengan kain yang diselendangkan atau kerudung, lalu berubah menjadi jilbab, lalu ada juga hijaber dan ada yang tidak menutup rambut meskipun yang bersangkutan beragama Islam dan melakukan shalat wajib pada saatnya. Bandingkan dengan di Arab Saudi, semuanya memakai burqa dengan mata tertutup rapat. Terutama di Makkah dan Madinah.

  

Maka di Indonesia dikenal ada konsep yang sangat lazim, yaitu Islam substantif versus Islam formalistic. Yang substantif itu dicirikan dengan pemahaman dan pengamalan agama yang bercorak substansial atau secara substansi telah memenuhi panggilan dasar Islam. Bahasa gampangnya bahwa mengamalkan Islam itu tidak harus secara formal dalam bentuk dan coraknya, misalnya harus berada di dalam negara Islam, harus masyarakat Islam, harus semua peraturan perundang-undanganya berbasis Islam dan semua masyarakatnya harus bertradisi Islam purifikatif. Berislam itu yang penting adalah aspek mendalamnya. Islam itu bukan tampilan luar secara formal tetapi penampilan batin yang mendalam. Jadi orang bisa berislam meskipun tidak berada di dalam negara Islam, atau orang bisa berislam meskipun regulasinya tidak semua berbasis Islam, atau tidak harus semua berpenampilan ala Islam di Timur Tengah.

  

Berislam secara substantif tidak mengurangi keberislaman seseorang. Berislam secara substantif juga merupakan berislam yang sempurna dalam konteks bahwa yang bersangkutan memahami Islam secara  mendalam dan penuh makna. Bagi kelompok ini, yang penting adalah isinya dan bukan kemasannya. Islam yang dijalaninya adalah Islam yang kaffah dalam konteks bagi dirinya. Kulitnya bisa apa saja tetapi yang penting adalah bagaimana


Baca Juga : Menjaga Islam Wasathiyah: Ulama Dibalik Pemilu 2024

  

Islam dapat dijalankan secara sempurna. Lebih baik minyak goreng cap babi tetapi halal dibandingkan minyak goreng cap onta tetapi haram.

Bagi paham Islam formal, maka yang menjadi ukuran keberislaman seseorang adalah kala secara structural berada di dalam negara Islam, label-labelnya Islam, aturannya Islam dan ekpresi keberagamaannya juga harus Islam. Bagi mereka Islam yang sempurna itu adalah Islam pada zaman Nabi Muhammad SAW di Madinah. Nabi sebagai pemimpin agama dan juga kepala negara Madinah, sehingga semua aturan kehidupan itu dijalankan sesuai dengan ajaran dalam agama Islam. Kelompok formalis terus berkeinginan bahwa negara di mana dia berada harus negara Islam.

  

Kelompok Islamis ini terus berjuang di mana saja mereka berada agar negara di mana yang bersangkutan hidup haruslah menjadi negara Islam. Cara menjadikannya tidaklah menjadi masalah. Bisa lewat kekerasan dan bisa juga lewat konstitusi yang memungkinkan tujuan mendirikan khilafah tersebut tercapai. Di Indonesia, misalnya didapati kelompok Islam garis keras atau Islam ekstrim yang menginginkan berdirinya negara Islam melalui kekerasan. Mereka menghalalkan darah orang lain untuk tujuannya. Bom bunuh diri sesungguhnya bukan semata-mata kebencian terhadap negara Barat dan system demokrasi, akan tetapi juga dibalik semua ada keinginan untuk memperjuangkan negara Islam. Pola umum yang digunakan nyaris sama sebagaimana yang dilakukan oleh DI/TII/NII dan kelompok lain yang berjuang mendirikan negara Islam melalui perjuangan bersenjata. Hanya saja sekarang mereka tidak bisa melakukam hal seperti itu, sebab kuatnya pertahanan negara, maka yang dilakukan adalah dengan lonely wolf atau berjuang sendirian.

  

Di antara yang pernah tumbuh juga HTI yang banyak berpengaruh di kalangan generasi muda. Mereka mempengaruhi generasi muda dengan jargon “jihad fi sabilillah”, “khilafah sebagai satu-satunya solusi” atau “ikut Nabi atau ikut sahabat atau ulama” dan sebagainya. Melalui doktrin ini akhirnya banyak generasi muda yang tertarik dan menjadi simpatisannya. Masih ingat tentu tentang Deklarasi Khilafah di IPB yang dilakukan oleh sejumlah mahasiswa atau Konferensi Khilafah Internasional di Stadion Senayan Jakarta. Semua menggambarkan bahwa paham Islam formalitik itu sedemikian telah mengakar, sehingga negara yang berdasar Pancasila dianggapnya sebagi thaghut dan harus diganti dengan dasar Islam.

  

Cara memahami Islam ini akan terus ada di dalam percaturan negara bangsa, sebab pemahaman seperti ini tidak akan ada matinya. Makanya, Islam substansial juga akan terus eksis dengan dakwah yang dilakukan, sementara itu secara diam-diam gerakan khilafah juga akan terus eksis. Dan kita tentu bisa memprediksi mana yang lebih sesuai dengan Islam Indonesia yang memang hidup dan berkembang pada area yang plural dan multicultural.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.