(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Bang Haji Rhoma Mendamaikan Musik dan Dakwah

Opini

Pada suatu pagi, Sabtu, 15 Mei 2021, saya menerima kiriman pesan  dari Prof. M. Sirozi, PhD., sahabat saya dari UIN Raden Fatah Palembang. Beliau adalah Rektor UIN Palembang periode 2016-2020. Saya tentu tidak langsung membukanya, sebab pagi itu saya mencuci mobil di depan rumah. Setelah selesai lalu saya pindahkan ke tempat parkiran sambil mengeringkannya. Setelah semua selesai baru saya buka kiriman tersebut, dan alangkah senangnya karena yang dikirim  adalah rekaman lagu Bang Haji bersama Indosiar, yang ditayangkan kalau tidak salah sebelum pandemi Covid-19. 

  

Saya dengarkan dua lagu Bang Haji, Idul Fitri dan Taqwa. Dua lagu yang memang cocok untuk menyambut hari raya Idul Fitri yang merupakan hari penting dalam kehidupan umat Islam. Di sela-sela dua lagu tersebut Bang Haji menyampaikan ceramah singkatnya tentang hari raya Idul Fitri dan dampak positifnya bagi manusia adalah menjadi manusia yang bertaqwa kepada Allah SWT.

  

Akhir-akhir ini saya suka mendengarkan lagu-lagu Bang Haji bersama Elvi Sukaesih. Lagu-lagu lama yang mengukuhkan status Raja dan Ratu Dangdut Indonesia. Saya kira orang-orang yang seusia saya tentu masih menggemari lagu-lagu lawas Bang Haji ini. Lagu-lagu romantis yang bisa membuat orang terpesona karena keindahan syairnya dan juga lantunan musikalnya. Saya kira-kira lagu-lagu Bang Haji kala itu masih cukup orisinal dangdut dan belum banyak dipengaruhi oleh musik-musik Barat slow rock yang kemudian banyak mewarnai lagu-lagunya pasca itu. Lagu seperti duet Bang Haji dengan Elvi Sukaesih dengan tema: “Cinta Abadi, Pantun Cinta, Rujuk, Hampir saja, 2+3, hello-hello” atau lainnya: “Ke Monas, Joget, Lonceng, dan Kaya Hati”. Lagu “Hampir Saja” merupakan lagu yang sangat romantis dengan desah-desahan yang menarik tetapi klimaksnya justru mengingatkan agar jangan sampai perbuatan tersebut diulang lagi. Atau lagu “Lonceng” yang sarat nasehat agar sekolah dan belajar yang sungguh-sungguh. Lagu-lagu Bang Haji yang romantic pun sebenarnya tetap bermuatan moralitas yang memadai. Jadi menurut saya, lagu-lagu itu bisa dijadikan hiburan dan sekaligus sebagai pengingat agar tetap mengedepankan moralitas relasi lelaki dan perempuan. 

  

Saya tentu sangat terkesan dengan Bang Haji semenjak saya masih menjadi mahasiswa. Saya pernah bertemu beliau di acara pagelaran musik Soneta di alun-alun Tuban, saat itu saya bebas kuliah pasca mengambil program doctoral dua di Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel. Kalau tidak salah tahun 1983. Pada waktu itu ada acara Forum Komunikasi Mahasiswa Dakwah se Jawa Timur yang digelar oleh Senat Mahasiswa Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel. Ketua Senat (alm) Slamet Suryanto dan saya sebagai sekretaris umum. Ketua Panitia Ahmad Yani Basuki dan wakilnya Moh. Ali Aziz. Begitu mendengar Bang Haji manggung di Tuban, maka saya meluncur dengan Bus ke Tuban dan bertemu di Hotel Purnama Tuban. Kira-kira jam 17.00 WIB saya diterima di lobby depan hotel. Setelah saya sampaikan proposal dan cerita sedikit tentang acara ini, maka Bang Haji memberikan donasi sebesar Rp50.000,00. Tentu uang yang cukup besar pada waktu itu. Bukan nilai uangnya tetapi perhatian dan kesediaan memberikan donasi itu yang tidak terlupakan. Dan peristiwa ini yang menjadikan saya terus bersahabat dengan Bang Haji. Beliau pernah menjadi narasumber dan juga khutbah Jum’at di Masjid IAIN Sunan Ampel sewaktu saya menjadi Rektor IAIN Sunan Ampel tahun 2009 atau 2010.  

  

Rupanya peristiwa itulah yang membuat kekaguman saya kepada Bang Haji tidak pernah luntur. Makanya pada setiap ada acara pagelaran musik yang menghadirkan Bang Haji terutama akhir-akhir ini di stasiun TV Indosiar, saya menyempatkan menonton. Apalagi sahabat saya Dr. Saifuddin dari UIN Raden Fatah juga pasti WA saya tentang pagelaran tersebut. Suatu kali saya sempat bertemu dengan Bang Haji di Ancol pada waktu beliau cek sound, pada acara peringatan 17 Agustus 2017 dan saya memberikan kenangan kepada beliau dan  beliau menandatangani ulang tahun saya yang ke 59. Lukisan Bang haji dan tanda tangannya itu menjadi kenangan yang saya abadikan di dinding rumah saya. 

  

Saya cermati lagu rancak Bang Haji yang bertajuk Taqwa. Syair itu berbunyi: “Yang miskin jangan bersedih dan sesali diri, Yang kaya janganlah bangga dan jangan busungkan dada. Derajat manusia di sisi Tuhannya bukan karena hartanya, derajat manusia di sisi Tuhannya hanya karena taqwanya. Dari itu bertaqwalah dalam hidup yang berharta. Dari itu bertaqwalah  dalam hidup yang tak punya. Firman Tuhan di dalam Kitab Sucinya Alqur’an, Miskin dan kaya itu sama. Sesunggunya keduanya hanya  ujian, bagi orang yang beriman. Mampukah si Miskin menjalani penderitaan? Berimankah dia di dalam kekurangan?, mampukah si kaya mengendalikan hawa nafsunya?, berimankah dia di dalam kelebihan? Yang miskin jangan bersedih jangan sesali diri, yang kaya janganlah berbangga dan jangan busungkan dada. Derajad manusia di sisi Tuhannya bukan karena hartanya. Derajad manusia di sisi Tuhannya hanya karena taqwanya”.

  

Saya tentu tidak ingin mengulas secara mendalam terhadap untaian lagu ini, tetapi satu hal yang pasti bahwa Bang Haji telah mampu untuk menafsirkan firman Tuhan, “Inna akramakum ‘indallah atqakum”. Al-Qur’an Surat Al Hujurat, ayat 13. Bagi saya, syair ini merupakan “pitutur luhur” dari seorang ahli musik dan sekaligus ahli ilmu agama. Dan yang paling penting bahwa Bang Haji telah berhasil mendamaikan musik dan dakwah secara sangat memadai. Syair musiknya tidak hanya berisi hiburan saja tetapi mengandung makna dakwah yang adiluhung.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.