(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Pulang Kampung: Pemerintah Vs Masyarakat

Opini

Pandemi Covid-19 sungguh telah memporakporandakan tradisi masyarakat yang telah mengakar dalam ratusan tahun. Tradisi mudik atau pulang kampung (pulkam) merupakan tradisi yang telah lama terdapat dalam masyarakat Indonesia. Meskipun tidak diketahui dengan pasti kapan tradisi ini dimulai, tetapi saya kira tradisi ini telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dalam waktu yang sangat lama. Masyarakat Islam khususnya memang menjadikan pulkam sebagai medium untuk bertemu muka dengan keluarga, terutama keluarga batih (extended family), di dalam momentum merayakan hari raya idul fitri atau lebaran. 

  

Masyarakat Indonesia memang memiliki keunikan dalam penyelenggaraan hari raya, khususnya hari raya idul fitri atau lebaran.  Yaitu kunjungan dari rumah ke rumah:  dari yang muda ke yang tua, kepada kerabat atau tokoh agama. Hari raya merupakan hari kebahagiaan. Baik anak-anak maupun orang tua dapat sejenak melupakan keruwetan hidup akibat tekanan sosial, ekonomi bahkan politik, dan saling bersalaman, berpelukan serta mengedepankan persaudaraan.

  

Tradisi seperti lebaran memang dirindukan oleh masyarakat Nusantara. Setahun sekali mereka menyempatkan diri untuk pulang ke tempat aslinya, tempat asalnya atau bahkan tanah kelahirannya. Lebaran memiliki makna yang sangat khusus di hati kebanyakan masyarakat Nusantara. Tidak hanya merayakannya tetapi juga menjadi ajang bagi pelampiasan rasa rindu kampung halaman, sanak kerabat, handai taulan dan kawan-kawan di masa lalu. Sungguh mudik atau pulkam berdimensi sangat mendasar dan mendalam bagi kebanyakan masyarakat Nusantara. Untuk memenuhi kepentingan ini, maka rintangan dan halangan mudik pun diterjangnya. Mereka tidak memedulikan lelah dan capek, yang penting mudik setahun sekali bisa dirasakannya. Bisa dibayangkan mereka merasa senang meskipun macet berjam-jam. Dari Jakarta ke Banyuwangi, Surabaya, Malang dan lainnya. Begitu pula dari Surabaya ke Pacitan,  Banyuwangi dan Trenggalek. Bahkan ada yang rela datang dari Jambi, Bandung lalu ke Surabaya. Dan di Surabaya dan Mojokerto hanya dalam waktu dua atau tiga hari. Tetapi inilah kebanggaan dan kebahagiaan itu terwujud dan terajut dengan indahnya.

  

Tahun ini, 2021, Pemerintah memberlakukan ketetapan larangan mudik. Pemerintah berkalkulasi bahwa dengan meniadakan mudik, maka persebaran Covid-19 akan bisa dikurangi atau dinihilkan. Pemerintah berasumsi bahwa dengan memberikan peluang mudik atau pulkam kepada masyarakat maka akan terjadi lonjakan penularan Covid-19. Basis asumsi ini tentu didasari oleh realitas akan terjadinya kerumunan, terjadinya kelelahan fisik, kerentanan kesehatan bagi pemudik dan perilaku bersalaman, dan berkumpul keluarga, yang sangat rentan terjadinya penularan Covid-19. 

  

Upaya menekan laju pertumbuhan terpapar Covid-19 memaksa pemerintah untuk memberlakukan menutup akses jalan tol, bandara, stasiun, terminal bus, dan Pelabuhan agar masyarakat tidak memanfaatkan instrument bepergian dari dan ke daerah lain. Bahkan pemerintah daerah juga memastikan bahwa Satgas Covid-19 akan memanfaatkan petugas kepolisian dan satgas Covid-19 untuk secara bersama-sama memantau jalur-jalur yang dimungkinkan akan dijadikan sebagai akses jalan ke wilayah lain. Bahkan Presiden juga mengeluarkan Keputusan Presiden tentang ketiadaan cuti bersama, dengan hanya memberikan waktu libur satu hari saja. Bahkan juga untuk Natal dan Tahun baru ( nataru). Upaya pemerintah ini dilakukan dalam kerangka untuk menekan laju penularan Covid-19 yang memang sangat penting. Pemerintah menetapkan larangan mudik tersebut semenjak 5 Mei sampai 17 Mei 2021. 

  

Bisa dibayangkan berapa kerugian pesawat terbang, kapal laut, transportasi darat seperti bus, kereta api, biro travel dan jalan tol sebagai akibat ketiadaan mudik sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah telah memilih menjadikan kesehatan sebagai panglima dan bukan ekonomi sebagai panglima. Jika menggunakan ekonomi sebagai panglima, maka semua perilaku masyarakat berkaitan dengan hari raya (lebaran) mengandung dimensi ekonomi. Uang yang biasanya menumpuk di Jakarta dan kota-kota besar lainnya menjadi terbelanjakan di wilayah-wilayah lain, bahkan pedesaan. 

Pemerintah telah melakukan “perjudian” luar biasa terkait dengan larangan mudik tahun ini. Jika pemerintah selama ini menggaungkan ekonomi sebagai panglima, maka kali ini harus tunduk dengan Covid-19 yang mewajibkan kesehatan sebagai panglima. Pemerintah menyatakan bahwa inilah pilihan paling rasional di tengah Pandemi Covid-19 yang juga belum menandakan akan berakhir. Makanya, sepantasnya bahwa masyarakat merespon kebijakan ini dengan positif. Artinya bahwa masyarakat sebaiknya menjadikan momentum hari raya ini dengan tidak melakukan mudik pada wilayah yang memang tidak diperkenankan. Bukankah masih ada cara lain yang bisa digunakan untuk mengganti pulkam, misalnya dengan menggunakan perangkat teknologi informasi. Sekarang sudah sangat dimungkinkan untuk melakukan silaturahim digital atau silaturahim virtual. 

  

Dan akhirnya pemerintah juga memberikan “opsi” kebolehan pada wilayah-wilayah yang memang memungkinkan orang untuk pulkam. Misalnya pada daerah-daerah yang perkembangan penularan Covid-19 sudah landai. Upaya untuk membuka akses bagi beberapa wilayah untuk bisa pulkam tentu memberikan “angin segar” bagi masyarakat di tengah gelegak dahaga bertemu keluarga, kerabat dan sahabat di satu sisi dengan pandemi Covid 19 di sisi lain serta kebijakan pemerintah di sisi lainnya. Jalan ketiga memang diperlukan.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.