Benteng Cinta Tanah Air dan Peran Tarekat
Riset AgamaArtikel berjudul “Becoming a ‘Fortress of Love’ for the Motherland: The Role of Local Sufi Order in Indonesia” merupakan karya Tasmuji, Ainur Rofiq Al Amin, Ahmad Zahro, dan Muhibbin. Tulisan ini terbit di Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam tahun 2024. Penelitian ini membahas mengenai pandangan Tarekat Siddīqīyah mengenai kemerdekaan dan jati diri bangsa Indonesia. Tujuannya adalah menganalisis bagaimana anggota Tarekat Siddīqīyah memandang kemerdekaan Indonesia, peran para founding fathers, dan kecintaan terhadap tanah air. Penelitian kualitatif ini menggunakan pendekatan fenomenologi yang berfokus pada teori sakral dan profan milik Mirce Eliade. Terdapat tiga sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, kemerdekaan antara barakah dan politik Walisongo. Ketiga, menjadi “benteng cinta” bagi tanah air.
Pendahuluan
Tarekat adalah sufi yang mengikuti aturan atau perilaku khusus yang ditetapkan oleh mursyid (pemandu) untuk memfasilitasi upaya spiritual murid-muridnya dalam mencapai kedekatan dengan Allah SWT. Hubungan erat antara mursyid dan muridnya adalah landasan perkembangannya sebagai sebuah tarekat keagamaan. setelah mengucapkan ikrar (baiat), seorang murid wajib mendengarkan dan menaati mursyidnya. Artinya, seorang murid tarekat berpedoman pada petunjuk mursyidnya, tunduk pada segala perintah maupun larangannya.
Baiat bukan sekadar perjanjian antara murid dan mursyid, melainkan antara seorang hamba dengan Tuhannya. Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani, seorang guru tarekat terkemuka abad-12, yang dikutip oleh Abdul Hamid dalam tulisannya berjudul “Syekh Yusuf Makassar: Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang” (2005) menyatakan bahwa seseorang yang telah berbaiat kepada suatu tarekat akan melakukan dosa besar jika meninggalkan amalannya. Seseorang yang memasuki tarekat akan diinstruksikan dalam aspek utama tasawuf, seperti taubat, pengasingan, pelepasan, takwa, Syukur, harapan dan ketakutan.
Segala hal di atas juga berlaku pada tarekat Siddīqīyah di Indonesia. Tarekat ini berakar pada abad ke 19 di Jawa Timur. Pendiriya adalah Syekh Muchammad Muchtar al-Jombangi, seorang murid ulama sufi terkemuka, Syeikh Shuaib Jamali al-Bantani. Di sini silsilah Tarekat Siddīqīyah menjadi bahan perdebatan. Tarekat yang sudah “mapan” di Indonesia seringkali menekankan rantai transmisi (sanad) yang jelas. Terdapat kritikus yang berpendapat bahwa sanad mereka tidak jelas, sehingga berpotensi menjadi kelompok menyimpang.
Sepanjang sejarah, semangat cinta tanah air mengalami pasang surut. Beberapa kelompok Islam merasa tidak puas dengan hasil perjuangan kemerdekaan dan keadaan republic yang baru berdiri, sehingga bercita-cita mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). Misalnya, pada Agustus 1949, Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo mengorganisir negara Islam tersebut. Bahkan saat ini, sebagian umat Islam di Indonesia masih merasa tidak puas dengan keadaan politik data ini, dan telah mendirikan gerakan untuk menegakkan hukum Islam di bawah Kekhalifahan Islam, seperti yang dilakukan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Secara naif, beberapa dari kelompok yang disebut radikal ini menawarkan diri mereka untuk dieksploitasi oleh beberapa politisi, sehingga mengakibatkan kerugian komodifikasi radikalisme. Misalnya, pada tanggal 4 September 2017, kelompok-kelompok termasuk Front Pembela Islam (FPI) dan HTI mengorganisir demonstrasi berkekuatan 50.000 orang di Jakarta untuk menentang pencalonan Ahok. Alasannya adalah QS. Al-Maidah: 51 yang memperingatkan umat Islam untuk tidak menjadikan Yahudi dan Kristen sebagai sekutu mereka.
Di masa lalu, beberapa organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam memutuskan untuk mengangkat isu Islam dan negara. misalnya, Partai Persatuan Umat Islam Indonesia (Masyumi) yang didirikan tahun 1945, mengampanyekan Islam sebagai dasar negara, dengan alasan Islam tidak boleh dipisahkan dari urusan politik dan ketatanegaraan. Sebaliknya, Abdurrahman Wahid (1940-2009) berpendapat bahwa keterlibatan negara dalam urusan agama harus dibatasi, karena merugikan kebebasan beragama. lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa negara harus menjaga jarak dari masalah agama dan menyerahkannya kepada organisasi keagamaan. Hal ini menggambarkan bahwa hubungan Islam dan negara selalu menjadi persoalan pelik dan problematik.
Baca Juga : KH. Yahya Syabrowi (1907-1987) Dakwah Melalui Lembaga Pendidikan
Kemerdekaan Antara Barakah dan Politik Walisongo
Kemerdekaan atau hak untuk mendirikan pemerintahan sendiri merupakan hak setiap bangsa. Keyakinan ini ditegaskan dalam Alinea pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa “kemerdekaan adalah hak segala bangsa.” Menurut Tarekat Siddīqīyah, kalimat tersebut menunjukkan bahwa para penulisnya sangat menyadari hak universal ini. Mereka sangat bijak dengan memilih ungkapan bahwa kemerdekaan adalah anugerah primordial Tuhan bagi seluruh bangsa, termasuk Indonesia.
Lebih lanjut, terdapat kalimat “atas berkat Rahmat Allah SWT” pada pembukaan UUD 1945, bagi kalangan Tarekat Siddīqīyah dimaksudkan untuk mengingatkan seluruh rakyat Indonesia akan kekuasaan tertinggi yang telah memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Kata berkat mengandung makna anugerah yang mendatangkan kebaikan, keselamatan, dan kebahagiaan yang menimbulkan rasa hormat, dan kasih sayang. Bagi Tarekat Siddīqīyah, hal ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Para Mursyid Trekat Siddīqīyah menegaskan beberapa hal pada kaitannya dengan kemerdekaan Indonesia. pertama, Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya di bulan yang penuh berkah. Kedua, ketergantungan Indonesia diperoleh berkat rahmat dan karunia Allah SWT, serta cita-cita luhur bangsa Indonesia. Ketiga, hendaknya Indonesia menjadi bangsa yang berakhlak mulia dan rendah hati, tidak sombong dengan menyatakan bahwa kemerdekaannya diraih semata karena usaha sendiri tanpa pertolongan Tuhan. Keempat, hendaknya seluruh rakyat Indonesia ingat bahwa kemerdekaannya adalah rencana Tuhan yang dicapai melalui upaya bersama. Kelima, Indonesia diharapkan menjadi bangsa yang berhak merdeka, sehingga dapat mengejar dan mencapai tujuan yang mulia.
Adapun Walisongo adalah tokoh terkenal dan dihormati dalam sejarah Indonesia, khususnya Pulau Jawa. Walisongo mengacu pada guru sufi tertentu yang menyebarkan Islam di Indonesia pada abad 14 hingga 15. Salah satu ciri khasnya adalah “karomah” atau kesaktian yang dianugerahkan Allah SWT. Pada tradisi Islam, istilah wali (sahabat Tuhan) mengacu pada orang yang dekat dengan Allah SWT dan mengabdi kepada-Nya dalam segala aktivitasnya. Hal ini dominan dalam tasawuf.
Pada Tarekat Siddīqīyah memiliki konotasi berbeda jika dikaitkan dengan kemerdekaan bangsa Indonesia. Walisongo adalah kelompok sembilan tokoh yang menyusun UUD 1945. Lebih tepatnya disebut “Walisongo Republik Indonesia.” Kesembilan tokoh ini adalah Soekarno, Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, Ahmad Subardjo, Alexander Andries Maramis, Abdul Kahar Muzakkir, Abikoesno Tjokrosujoso, Wahid Hasyim, dan H. Agus Salim.
Menjadi “Benteng Cinta” Bagi Tanah Air
Setelah berakhir masa Orde Baru, banyak partai politik dan ormas Islam bermunculan di Indonesia yang nampaknya menggambarkan wajah Islam yang agresif dan tidak toleran. Setiap partai politik atau organisasi sosial yang mengatasnamakan Islam sepertinya saling bersaing, masing-masing mengklaim bahwa penafsiran mereka terhadap Islam adalah benar, dan hanya mereka yang komitmen pada tujuan tersebut. Misalnya, Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Ikhwanul Muslimin Indonesia (IMI), Laskar Jihad (LJ) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Namun, bukan hanya kelompok Islam yang berkontribusi terhadap bangkitnya ekstremisme di Indonesia. Kelompok lain menyebarkan bentuk separatisme berbasis agama. Misalnya, Muhammad Nizar, Ketua SIRA (Pusat Informasi Referendum Aceh) yakni sebuah kelompok anti-pemerintah baru yang terkemuka yang menyatakan bahwa tidak ada sistem yang sah untuk integrasi teritorial umat.
Tarekat Siddīqīyah tidak sekadar membahas persoalan-persoalan spiritual yang berhubungan dengan akhirat, namun juga persoalan politik, seperti pentingnya konsep berbangsa dan bernegara. Tarekat ini telah dikritik karena memihak partai yang berkuasa selama era Orde Baru di Indonesia. namun, pandangan mereka terhadap berbagai isu relevan saat ini patut diapresiasi, terutama gagasan mengenai cinta tanah air. Meskipun, ajaran mereka dianggap tidak memiliki dasar hukum Islam, para mursyid mempertahankan pandangan mereka.
Pada ajaran Tarekat Siddīqīyah mengajak para pengikutnya mengamalkan semangat cinta tanah air. Mencintai tanah air dianggap sebagai sebuah kewajiban yang harus tercermin dalam tindakannya. Pendiri dan pemimpinnya, Kiai Muchammad Muchtar Mu’thi dengan tegas mengingatkan para pengikutnya bahwa siapa pun yang tidak mencintai tanah airnya tidak dapat mengklaim tempat di antara mereka, dan didarankan bergabung dengan tarekat lain. baginya, cinta tanah air adalah salah satu dari dua dimensi tasawuf.
Tarekat Siddīqīyah bukanlah organisasi sufi yang hanya fokus pada urusan ukrawiyah saja. Sebaliknya, mereka mengharapkan pengikutnya menjadi warga negara aktif yang terlibat dalam komunitas lokal dan nasional, serta merasa bertanggung jawab atas kesejahteraan negaranya. Oleh sebab itu, hal yang menyangkut bangsa Indonesia dianggap sebagai masalah penting. Rasa cinta tanah air kemudian diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dan melalui kegiatan sosial. Artinya, rasa cinta tanah air bukan hanya sekadar ungkapan perasaan yang menyentuh hati, melainkan tindakan dengan tujuan dan makna.
Kesimpulan
Secara konseptual, Tarekat Siddīqīyah memandang bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia adalah anugerah dari Allah SWT, atas usaha yang dilakukan. Selain itu, diperkenalkan pula konsep “Walisongo Republik Indonesia” yang beranggotakan tokoh penyusun UUD 1945. Tarekat ini menekankan pentingnya cinta tanah air dengan menjadikan salah satu inti ajaran yang harus diikuti setiap anggotanya. Tarekat Siddīqīyah berupaya memajukan arus baru dalam tasawuf yakni tasawuf politik dengan mengulas relasi mendasar antara Islam dan semangat cinta tanah air.