(Sumber : Kumparan)

Non-Muslim dan Sertifikasi Halal

Riset Sosial

Artikel berjudul “Non-Muslim Voices on Halal Certification: From Sectoral-Religious Tendencies to State-Mandated Regulations" merupakan karya B.J Sujibto dan Fakhruddin M. Tulisan ini terbit di Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik tahun 2023. Penelitian ini membahas pemahaman sekaligus artikulasi kehalalan di kalangan komunitas bisnis non-muslim di indoneesia yang fokus pada pemilik usaha kecil menengah (UKM). Terdapat lima sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, kepentingan keagamaan dan bisnis. Ketiga, Badan Pengawas Obat dan Pangan (BPOM) dan sertifikasi halal. Keempat, mengorbankan kepentingan agama dan bisnis. Kelima, memaksimalkan peran lembaga negara. 

  

Pendahuluan

  

Penerapan Jaminan Produk Halal (JPH) UU 33/2014 mengamanatkan pembentukan lembaga pemerintah beru di bawah Kementerian Agama (Kemenag) yang kemudian disebut Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Hal ini sebelumnya dikelola oleh lembaga independent di bawah Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai satu-satunya otoritas yang menerbitkan sertifikasi halal di Indonesia. Sertifikasi halal bertujuan untuk melayani kepentingan umat Islam sekaligus mendukung mereka mengamalkan ajaran agamanya. Jika ditinjau dari sudut pandang produsen, sertifikasi halal dapat membantu produsen mendistribusikan produknya dengan lebih luas, terutama di negara-negara muslim. 

  

Permintaan global terhadap produk halal terus meningkat, sehingga sertifikasi memang diperlukan. Menariknya, industri halal global diperkirakan bernilai sekitar USD 2,3 triliun per tahun. Hal ini menjadikannya sebagai pasar dengan pertumbuhan tercepat. Tren yang terus meningkat ini dimanfaatkan oleh Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam menjadi pemimpin dalam pengelolaan sekaligus pengorganisasian standar makanan halal global. 

  

Pemahaman masyarakat non-muslim terhadap produk halal mempengaruhi sikap mereka secara positif. Tren ini tidak hanya terjadi di negara dengan mayoritas muslim, tapi juga non-muslim seperti Amerika, India, Kanada, dan Australia. Sebagian besar non-muslim membeli produk makanan dengan sertifikat halal karena kesehatan. Konsumen membeli dari toko muslim karena mereka percaya produk tersebut segar, aman, dan bebas infeksi. 

  

Kepentingan Keagamaan dan Bisnis

  

Wacana halal telah memicu perdebatan di ranah agama dan bisnis. Berdasarkan sudut pandang agama, sebagian besar pelaku usaha UKM non-muslim menganggap kehalalan adalah aspirasi sektoral umat Islam. Permintaan produk halal terutama datang dari umat Islam yang mensyaratkan status halal dalam konsumsinya. Jika tidak ada label halal, masyarakat ragu membeli. Sementara, bagi non-muslim yang usahanya bukan pada bidang makanan atau minuman, hal itu tidak berdampak signifikan karena agama tidak memberlakukan aturan kehalalan. Artinya, jika dilihat dari persepsi sektoral-keagamaan, produk halal tidak berbeda dengan isu lain yang secara khusus relevan dari kelompok muslim. 

  

Kepentingan bisnis juga menjadi faktor penentu dalam memperoleh sertifikasi halal, sebab pelaku usaha perlu memperluas pasar dan membangun kemitraan dengan Perusahaan swasta dan pemerintah. Hal ini menjadikan aspek bisnis dan ekonomi menjadi tujuan utama terpenuhinya syarat kehalalan yang sejalan dengan nilai-nilai agama serta persyaratan administratif lainnya. 


Baca Juga : Bonus Demografi: Tantangan dan Rekomendasi

  

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Sertifikasi Halal

  

Ketika membandingkan urgensi sertifikasi halal dan BPOM, para ahli tidak mempertimbangkan sertifikasi halal sama pentingnya dengan BPOM. Hal ini dilakukan sebab memenuhi perintah agama. Selain itu, BPOM juga menyangkut kesehatan produk makanan dan minuman. Para pelaku usaha juga percaya bahwa mendapatkan BPOM mengurangi beban mereka memperoleh sertifikasi halal produknya. Status halal tidak wajib diperoleh dan tergantung pada kepentingan siapa yang ingin dilayani. 

  

Sertifikasi BPOM dirasa cukup untuk produk konsumen karena sudah memenuhi keamanan pangan dan berdampak pada kesehatan manusia. Sayangnya, wacana publik mengenai kehalalan tidak selalu dikaitkan dengan masalah kesehatan. Pemahaman yang sempit dan kecenderungan sektoral religius, alih-alih menempatkan kehalalan sebagai hal yang saling melengkapi telah mereduksi aspek kesehatan. Cakupan konsep kehalalan yang komprehensif ini belum tersosialisasikan dengan baik kepada masyarakat, sehingga mereka belum memahami bahwa konsep kehalalan berkaitan dengan kesehatan. 

  

Mengorbankan Kepentingan Agama dan Bisnis

  

Adanya produk halal membuktikan bahwa aktivitas ekonomi dan bisnis atau segala bentuk komersialisme tidak hanya menyangkut persoalan duniawi dan materialistis saja, melainkan juga asketisme dan nilai agama. Beberapa orang mungkin masih memandang bisnis dan keagamaan sebagai hal terpisah, di mana bisnis mengejar keuntungan dan agama mengekang kepentingan materialistis. Artikulasi kehalalan dapat dilihat dari sudut pandang agama dan bisnis. Pertama, perspektif sektoral-agama mengungkapkan bahwa kesalehan dan kepentingan umat Islam adalah pendorong utama mencari sertifikasi halal. Pelaku usaha non-muslim memiliki keterbatasan pemahaman ini karena kurangnya pengetahuan kehalalan.

  

Persepsinya, kehalalan di Indonesia bersifat sektoral dan persoalan ideologi yang memfasilitasi komunitas muslim, sehingga komunitas non-muslim merasa tidak terikat. Kecenderungan ideologis dan sektoral mengenai isu halal ditentang oleh komunitas non-muslim. Pengalaman tersebut terbentuk melalui proses sosial berkesinambungan dalam makna dan simbol yang mendasarinya. Kemudian, mempengaruhi tindakan sosialnya hingga pada wacana halal. Artikulasi sosial-keagamaan ini secara alami tertanam sebagai pengalaman antropologis dan fenomenologis yang terinternalisasi dalam praktik sosial. Artinya, pemahaman dan artikulasi kehalalan di kalangan komunitas non-muslim dikonstruksi melalui konteks sosial dan pengalaman hidup. Adanya interaksi dalam lingkungan sosial, artikulasi pelaku UKN non-muslim terhadap kehalalan bersifat unik dan terus diciptakan kembali melalui proses interpretasi hingga membentuk tatanan sosial tertentu

  

Kedua, berdasarkan sudut pandang bisnis, sertifikasi halal dianggap sebagai hal yang penting dalam ekonomi dan komersialisme. Orientasi bisnis sering kali identik dengan kapitalisme, dan kehalalan dicari guna menarik pelanggan muslim. Melalui tren ini, sertifikasi halal dapat menjadi bagian penting dalam pertumbuhan ekonomi sekaligus Keputusan pemasaran di Indonesia. Oleh sebab itu, sertifikasi halal seharusnya tidak menjadi beban bisnis. Badan dan pemangku kepentingan yang terlibat dalam proses yang dikendalikan pemerintah dapat bekerja sama untuk membuat prosedur dan peraturan lebih mudah diakses. Optimalisasi pemanfaatan teknologi bisa menjadi salah satu Solusi. Kehadiran negara dapat menjadikan sertifikasi halal lebih optimal dengan mengikuti prosedur yang baik dan tidak hanya menekankan pada aspek agama guna menilai keamanan pangan.

  

Memaksimalkan Peran Lembaga Negara

  

Kehadiran negara melalui mekanisme hukum formal yang mengatur sertifikasi halal menjadi pendekatan ampuh. Hal ini harus diikuti dengan penguatan posisi negara di sektor publik untuk memastikan sertifikasi halal tersedia bagi semua pihak. Peraturan yang disahkan dalam undang-undang diharapkan mampu memenuhi tuntutan sertifikasi tanpa memandang latar belakang ideologi. Hal ini tidak hanya menguntungkan pelaku usaha, namun juga masyarakat sebagai konsumen. Pada saat yang sama, legitimasi menggunakan JPH juga dapat memastikan bahwa masyarakat muslim Indonesia didukung untuk menjalankan ajaran agamanya. Negara dapat berfungsi sebagai aktor kesatuan dalam mengadvokasi isu terkait kehalalan tanpa rasa khawatir dan ragu. Publik juga dapat mengontrol praktik sertifikasi halal dan penganggarannya. Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara seperti BPJPH merupakan modal yang harus dilindungi negara. 

  

Kesimpulan

  

Secara garis besar penelitian ini menjelaskan bahwa artikulasi sertifikasi halal yang diungkapkan pelaku UKM non-muslim sebagian besar terfokus pada aspek keagamaan, sehingga menimbulkan kecenderungan sektoral dan ideologi yang tertanam dalam ingatan masyarakat. Alhasil, mereka condong memilih sertifikasi BPOM dibandingkan sertifikasi halal karena dianggap tidak berdampak langsung terhadap para non-muslim. Artinya, pengetahuan mengenai aspek kehalalan lain seperti kebersihan, kesehatan belum tersosialisasi dengan baik di masyarakat. Kajian ini memperjelas kontribusi konseptual gagasan halal secara komprehensif, yaitu pemenuhan standar sosial kebersihan, kebersihan, dan kesehatan. Guna mengurangi kesalahpahaman tentang kehalalan, masyarakat harus diberikan edukasi mengenai aspek kebersihan, kebersihan, dan kesehatan yang tertanam dalam konsep halal. Dengan kata lain, negara harus mempertimbangkan latar belakang masyarakat Indonesia yang beragam dan multikultural.