(Sumber : Media Indonesia )

Urgensi Menangkal Rayapan Konservatif di Ruang Digital

Horizon

Oleh: Ali Mursyid Azisi

(Pengurus Asosiasi Penulis-Peneliti Islam Nusantara (ASPIRASI) PW LTNNU Jawa Timur)

  

Generasi muslim muda di era digitalisasi saat ini memiliki tugas besar. Selain dituntut beradaptasi dengan pesatnya kemajuan teknologi, juga dihadapkan dengan masifnya rayapan (gerakan) kelompok konservatif, ekstremis, radikalis, teroris hingga puritanis di udara (ruang digital). Tentu demikian bisa menggerogoti pondasi negara dan mencederai ideologi generasi muda.  

  

Bagaimana tidak?, sesuai dengan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APIJII) per kuartal II di tahun 2020 silam tercatat ada penambahan kuantitas pengguna internet sebanyak 25,5 juta jiwa dibanding 2019. Begitu pula peningkatan presentase penetrasi internet di Indonesia sejak tahun 2018 hingga tahun 2022 mengalami peningkatan, 2018 (64,80%), 2019-2020 (73,70%), 2021-2022 (77,02%)Tentu hingga memasuki tahun 2022 kian mengalami peningkatan. Demikian beriringan dengan meningkatnya gerakan golongan konservatif-ekstremis di ruang digital. 

  

Sesuai dengan hasil riset Media and Religious Trens in Indonesia yang dipublikasikan pada November 2020 silam menunjukkan bahwa narasi keagamaan/sepak terjang/pergerakan kelompok ekstremis-radikalis atau konservatisme lebih mendominasi di ruang digital mencapai (67.2%), kemudian kelompok moderat hanya (22.2%), liberal (6.1%), disusul kelompok islamis (4.4%). Bahkan, penggunaan hastag ala konservatif di Indonesia sangat popular sejak tahun 2009. Hingga tahun 2022 jumlah pengguna Internet bertambah dan ekspresi keagamaan kelompok konservatif kian variatif.  

  

Demikian pula ditambah dengan semakin berkembangnya komunitas gerakan hijrah kontemporer di media sosial yang kini menjadi trend yang digandrungi kalangan anak muda. Sesuai hasil riset oleh PPIM UIN Jakarta terdapat 180 video Youtube dan 1.237 konten Instagram gerakan hijrah yang cenderung mengarah pada narasi konservatif, baik berupa teks, gambar, maupun video.

  

Identitas Golongan Konservatif-Ekstremis 

  

Konservatif dalam pandangan Charlotte Thomson (1999) diartiken sebagai sebuah konsep bagi seseorang yang menentang modernitas dan menjaga tradisi lama. Demikian dalam segi keagamaan identik dengan kelompok-kelompok yang menentang pemerintah sekaligus ingin meng-Arabisasi Indonesia. Demikian acap dikenal sebagai khilafahers

  


Baca Juga : Masa Depan Gerakan Gulen di Turki

Begitu pula bagaimana sejarah besar penyerangan kaum ekstremis-teroris di Amerika pada 2021 silam. Dalam buku As’ad Said Ali yang bertajuk Al-Qaeda: Tinjauan Sosial-Politik Ideologi dan Sepak Terjangnya, pada mulanya, yang paling disorot mengenai kaum ekstrimis/puritanis yaitu ketika terjadinya penyerangan gedung WTC (Word Trade Center) pada tahun 2001 yang berlokasi di New York.

   

Dengan mengatasnamakan agama (Islam) dan lebel jihad, kelompok jaringan teroris Al-Qaeda menjadi sorotan masyarakat dunia, terutama Amerika sebagai korban saat itu. Dengan pemahaman Islam yang dangkal, mereka memahami Islam secara sempit dan siapun yang tidak sependapat dengannya maka akan di lebel kafir, dan merasa paling unggul (supremasi). 

  

Pemahaman jihadnya pun hanya berkutik dalam scoop perang-melawan pemerintah-menindas kaum yang tidak sependapat dan tentu dengan cara kekerasan. Dari pemahaman ayat al-Qur’an yang familiar tekstualis tanpa memaca konteks turunnya ayat. Demikian pula menjadi identitas utama kalangan konservatif, di mana menerapkan hukum Islam sesuai bunyi teks Qur’an tanpa menilik konteks turunnya ayat. 

  

Ketidaksetujuan terhadap sistem negara yang dianggap thagut dan memerangi dengan atas nama agama adalah bukanlah wajah Islam. Dalam Sirah Nabawiyah, Nabi Muhammad dalam dakwahnya penuh kasih sayang, santun, tidak memusuhi lawannya, lembut dan sangat menghindari kekerasan, meski sesekali bersikap tegas.

  

Ruang Digital Sebagai Ladang Subur

  

Dalam konteks dinamika media sosial yang setiap detik mengalami perkembangan informasi, kini ruang gerak/dakwah kelompok ini juga memanfaatkan media digital. Bisa kita temui beberapa kajian-kajian, berita, bahkan informasi lainnya yang justru menyesatkan, mengandung unsur sara dan tidak segan mengancam kesatuan NKRI di media sosial yang dikelola oleh kelompok-kelompok supremasi tersebut. 

  

Beberapa hal perlu diperhatikan pelajar muslim dalam mencari referensi kajian keislaman maupun informasi lainnya dengan memperhatikan betul website yang terpercaya dan berbau moderat. Dengan mengenali berbagai website kelompok sejenis Al-Qaeda yang di Indonesia dikenal dengan Salafi-Wahabi, LDII, MIT, HTI, NII dan sejenisnya, setidaknya menjadi benteng bagi generasi muda muslim Indonesia (NU-Muhammadiyah) yang menjunjung tinggi pemahaman moderat maupun masyarakat secara umum dalam mencari referensi sumber keislaman.

  

Beberapa website yang perlu kita hindari yaitu: an-najah.net, al-manhaj.or.id, salafi.in, ahlussunnahslipi.com, salafybpp.com, salafy.in, radiorodja.com, www.al-intima.com, www.indonesiaalyoum.com, dan masih banyak lagi beberapa website sejenis. Selama ini, fenomena mendominasinya narasi konservatif di ruang digital dikenal dengan noisy minority (segelintir yang berisik), seolah-olah suara mereka mewakili semua kalangan. 


Baca Juga : Dakwah Sunan Ampel : Mulai Dari Alam, Budaya, Hingga Tepis Wiring

  

Maka, jika dibiarkan berkembang akan menjadi benalu pemahaman keagamaan generasi selanjutnya. Dengan menelusuri beberapa website yang perlu dihindari, setidaknya generasi muslim selanjutnya tidak mudah terjerumus ke dalam paham-paham ektrem, konservatif bahkan radikal. 

  

Peran Generasi Muslim Muda Moderat

  

Oleh karenanya upaya mengingat peran generasi muda sebagai pemakai gadget/media digital yang begitu mendominasi, maka merupakan sebuah keharusan kader-kader muda golongan moderat Nahdlatul Ulama mau pun Muhammadiyah memanfaatkan smartphone mereka untuk kemanfatan yang lebih besar. Salah satunya adalah menebarkan syiar moderasi beragama/Islam santun di media sosial. 

  

Sangat diharapkan di masa selanjutnya, kader generasi muda muslim kita mampu bersaing/membendung pergerakan kelompok konservatif (noisy minority) yang ingin meruntuhkan negara Indonesia. Padahal, sesuai data penelitian bahwa kalangan moderat yang juga menggunakan media sosial di Indonesia jauh lebih besar kuantitasnya. Akan tetapi mereka mayoritas berstatus silent majority (hanya diam). 

  

Maka, sudah menjadi keharusan generasi muda muslim di Indonesia turut bersuara menarasikan kajian moderasi beragama di ruang digital. Jika hanya mengandalkan kuantitas tanpa bersuara, maka tidak ada gunanya. Fenomena fear of isolation munking saja terjadi, di mana adanya rasa malu atau takut berpendapat (kekhawatiran dikucilkan) karena ketidaksamaan dengan narasi publik (suara noisy minority),  maka sikap demikian harus dibuang jauh-jauh. 

  

Merupakan kewajiban bersama menyebarkan kajian-kajian Islam santun, berita, konten-konten yang lebih inklusif, mengandung unsur damai, penuh toleransi, moderat dan menebar nilai-nilai luhur Islam yang Rahmatan lil ‘alamin di berbagai platform media digital. Upaya demikian bertujuan supaya generasi-generasi muslim selanjutnya tidak terjerumus ke dalam paham-paham konservatif mau pun radikal yang berujung pada doktrin jihad. Baik itu melalui konten tulisan, audio visual, maupun media lainnya yang sekiranya mengandung unsur kekerasan/menjerumus pada pemahaman dangkal sebaiknya dihindari. 

  

Kini saatnya para generasi muda moderat Indonesia, baik Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, mau pun secara umum yang berpaham sama turut andil dalam syiar moderasi beragama di ruang digital. Sebagai kalangan yang aktif bermedia sosial, generasi muda dituntut juga berkontribusi dalam membentengi ideologi bangsa mau pun pemahaman keagamaan yang humanis dari doktrin jihadis-konservatif. Dengan begitu, keikutsertaan seluruh elemen (tokoh agama, dosen, peneliti, institusi pemerintah (KEMENAG), BNPT, BEPT, komunitas anti radikalisme-terorisme, dan generasi muda) menjadi massif dan kedepannya narasi moderat lebih mendominasi di ruang digital.