• Redaksi
• 08 April, 2025

Eva Putriya Hasanah

Kamu pasti udah gak asing sama tradisi nyekar kan? Tradisi ziarah kubur yang biasa dilakukan menjelang Ramadhan atau Lebaran ini udah jadi bagian penting dari budaya masyarakat Indonesia. Biasanya sih identik dengan doa bersama, tabur bunga, dan suasana khidmat sambil mengenang mereka yang sudah pergi duluan.

Tapi zaman sudah berubah ya guys . Generasi sekarang—termasuk kita—mulai nyekar dengan cara yang agak berbeda. Bukan Cuma soal “bagaimana” kita melakukannya, tapi juga “mengapa” dan “untuk siapa”.

Dulu Khusyuk, Sekarang Estetik?

Kalau zaman dulu, nyekar itu murni buat mendoakan orang yang sudah meninggal. Sekarang... kadang jadi ajang konten juga. Bukan mau nge-judge sih, tapi coba deh cek explore Instagram menjelang Ramadhan: ada aja yang upload foto selfie di Makam dengan caption bijak dan tone warna yang sendu.  Maksudnya mungkin buat kita ngingetin soal kematian, tapi kadang jadi ambigu antara mengenang atau ngonten.

Makna Mulai Bergeser: Dari Spiritual ke Sosial

Menurut pakar antropologi Unair, perubahan zaman membuat fungsi tradisi nyekar juga ikutan geser. Kalau dulu murni spiritual dan budaya keluarga, sekarang sudah ada unsur sosialnya juga. Bahkan ada yang nyekar karena takut dianggap nggak “berbakti” kalau nggak dateng, bukan karena kesadaran pribadi.

Ada juga yang nyekar rame-rame tapi isinya malah ngobrolin kerjaan, mantan, atau saldo e-wallet . Niatnya tetap baik, tapi atmosfernya sudah berbeda jauh sama yang dulu-dulu.

Baca Juga : Dari Bedah Buku Islam Itu Indah: Upper Kaffah, Medium Kaffah dan Lower Kaffah (Bagian Pertama)

Ziarah Virtual dan Doa Lewat Zoom

Pandemi beberapa tahun lalu juga menjadi titik balik. Ketika orang tidak bisa bebas ke makam, muncullah alternatif: ziarah virtual. Ada keluarga yang janjian baca doa bersama via Zoom, atau kirim doa dari jauh sambil kirim foto kuburan melalui WhatsApp keluarga.

Keliatannya aneh, tapi ini juga bentuk adaptasi zaman. Bahkan setelah pandemi mereda, tradisi semacam ini masih dipertahankan oleh sebagian orang yang tinggal jauh dari rumah.

Antara Kepercayaan, Kebudayaan, dan Kenyamanan

Pergeseran cara nyekar ini nunjukin satu hal: budaya itu dinamis. Dia berubah seiring waktu, tergantung siapa pelakunya. Generasi orang tua kita mungkin masih menganggap nyekar harus datang langsung dan membawa bunga. Tapi generasi kita, yang hidup di tengah jadwal padat dan teknologi serba cepat, mungkin merasa cukup dengan mendoakan dari jauh atau sekali-sekali aja nyekar.

Apakah itu salah? Belum tentu. Yang penting, esensinya tetap terjaga: mendoakan mereka yang sudah pergi, menghormati, dan menjaga silaturahmi antar keluarga.

Seblak Aja Bisa Berkembang, Masa Tradisi Nnggak?

Baca Juga : PTKIN: Pendidikan Bermutu dengan Pelayanan Optimal

Kalau kamu mikir, “Wah tradisi nyekar sekarang jadi nggak autentik,” coba pikir ini: bahkan makanan kesukaan kita aja udah berubah. Dulu seblak Cuma kerupuk dan kuah pedas, sekarang bisa ada mozzarella, sosis sapi, sampe smoked beef !

Budaya juga begitu. Nggak selalu harus sama bertahan kayak dulu, tapi tetap punya benang merah. Kita boleh nyekar sambil ngonten, asal niatnya tetap untuk mengenang. Kita boleh nyekar lewat video call, asal doanya tetap tulus.

Yang Penting Ingat, Bukan Sekadar Datang

Mau datang langsung ke makam, mau kirim doa dari jauh, mau nyekar sambil foto atau sambil diem—semua itu kembali ke hati masing-masing. Tradisi bisa berubah, tapi jika niat dan makna tetap terjaga, rasanya tidak perlu khawatir kehilangan identitas budaya.

Jadi, kamu tim nyekar langsung atau tim doa dari jauh? Apa pun itu, semoga yang dooin tetap mendapat ketenangan, dan kita yang hidup tetap inget buat bersyukur dan berbuat baik. 

Sumber Bacaan

https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-7851878/pakar-antropologi-unair-sebut-ada-pergeseran-tradisi-nyekar-saat-ini-seperti-apa diakses pada 5 April 2025